Mari Menyontek
Saya terinspirasi dari sebuah tulisan di Jawa Pos yang membahas kepahlawanan Bu Siami. Pada dasarnya manusia itu makhluk mencontek. Sejak lahir, kita mencontek ayah dan ibu bagaimana cara untuk makan, minum, berdiri, berbicara, tidur, dan lain sebagainya. Saat tumbuh besar, kita mencontek lingkungan kita tentang apa yang benar, apa yang salah, apa yang baik, maupun apa yang buruk. Begitupun di sekolah, mencontek adalah cara kita untuk mencari solusi atas permasalahan yang tidak bisa kita pecahkan.
Ketika kita tidak mengetahui kenapa apel yang jatuh dari pohon meluncur ke tanah, kita kemudian mencontek buku fisika tentang Hukum Gravitasi Newton. Ketika kita tidak tahu mana yg baik dan mana yang buruk, kita mencontek kitab suci atau pendapat-pendapat para ahli.
Jadi, apa sih yang salah dari mencontek? Okey, mencontek adalah sesuatu yang sangat wajar, karena sebagai manusia, memang mempunyai naluri untuk melihat/mencari petunjuk/jawaban yang benar ketika sedang bingung tidak tahu apa jawaban dari permasalahannya. Melarang seseorang untuk mencontek (bahkan mengharamkannya) sebenarnya malah melanggar naluri alamiah orang tersebut untuk mengetahui jawaban yang benar.
Bagaimana ketika mencontek saat ujian nasional, apakah hal itu bisa dibenarkan?
Bagaimana dengan guru yang meminta siswanya untuk mencontek?
Mencontek adalah hal yang wajar: Tidak perlu disuruh-suruh dalam melakukannya, dan tidak perlu melarang-larang pelakunya. Sudah bukan rahasia umum lagi kalau hasil nilai ujian nasional sudah tidak relevan dan tidak bisa dijadikan ukuran kecerdasan seseorang, karena tidak ada instrumen yang paling akurat menilai kecerdasan seseorang selain KARYA yang dihasilkan orang tersebut. Lihat saja Albert Einstein, Thomas Alpha Edison, dan Issac Newton yang ketika sekolah dianggap bodoh, tapi kini dianggap jenius karena karya-karya mereka yang belum pernah dibuat oleh orang-orang yang dianggap cerdas di sekolah.
Dalam kajian Bangbang Wetan di Balai Pemuda Surabaya (15 Juni 2011), cak Priyo pernah menyayangkan pelaksanaan ujian nasional yang seolah-olah menjadi sesuatu yang menakutkan, "Sssttt... Harap tenang, ada ujian". Bahkan, seminggu sebelum pelaksanaan ujianpun biasanya diadakan MINGGU TENANG. Padahal, sambil ujian nyetel musik dangdut-pun (sebenarnya) gak ada masalah.
Ujian nasional bukanlah sebuah peristiwa suci yang pantas ditakuti. Pada dasarnya itu dilaksanakan hanya sekedar untuk menguji seberapa paham siswa belajar konsep matematika, bahasa, dan sains. Tidak menguasai semuanya-pun, tidak ada masalah. Toh memang sebgian besar pelajaran yang diajarkan di sekolah tidak dipakai ketika kita hidup bermasyarakat. Tapi, kini semua sudah melenceng... ujian nasional dilakukan untuk menjegal siswa yang tidak bisa matematika, sains ataupun bahasa, agar kesulitan mencari sekolah di jenjang yang lebih tinggi. Ujian nasional kini diselenggarakan hanya untuk menyeleksi siapa yang layak mengenyam pendidikan lebih tinggi, dan siapa yang tidak layak.
Padahal, bagi Inul Daratista ataupun Roma Irama, tidak menguasai pelajaran Fisika sekalipun gak ada masalah. Bagi Maria Ozawa ataupun Mario Teguh, tidak menguasai Kimia juga ga ada masalah. Menguasai pelajaran sekolah bukan satu-satunya jalan menjadi sukses hidup di dunia ini.
Kalo boleh kasar, gak iso ngitung luas lingkaran gak opo2, gak iso ngitung gerak melingkar beraturan yo gak patek'en... sing penting duwe karya sing berguna bagi nusa dan bangsa... lak ngono ta.
*Tulisan ini pendapat pribadi, kalo gak trima, komentar yg sopan ya*
Komentar
Posting Komentar