Soal Kompetensi
Banyak orang salah menilai tentang peran yang diambil seseorang apakah dia itu seorang pengusaha, atau dia hanyalah pegawai/karyawan. Apa yang salah dengan karyawan?
Kebanyakan pengusaha (dengan kejam) menghina pilihan seseorang yang ingin menjadi pegawai/karyawan. Mereka bilang, "kasihan para pegawai, sebab hidup mereka ditentukan oleh tanggal gajian". Mereka menggembar-gemborkan hidup enak ala pengusaha dengan fasilitas yang serba mewah, kebebasan mengatur waktunya, kebebasan berekspresi, dan sebagainya… dan sebagainya. Atau lebih parah lagi, mereka mengatakan JANGAN MAU SEUMUR HIDUP JADI PEGAWAI!! Mereka (para pegusaha) tidak sadar bahwa usaha mereka mustahil dapat berjalan dengan suskes sesuai targetnya tanpa ada karyawan yang kompeten dalam organisasi perusahaannya.
Inilah paradigma yang salah yang sering didengungkan orang-orang (yang mengaku pengusaha). Sebenarnya, urusan menjadi kaya atau tidak bukan tergantung pada pilihan menjadi pegawai atau pengusaha. Sebab, para pengusaha juga membutuhkan karyawan untuk menjalankan usahanya. Tidak semua yang menjadi pegawai itu miskin, dan tidak semua yang menjadi pengusaha itu kaya. Buktinya? Seorang tenaga marketing di sebuah Bank kelas dunia yang saya kenal mampu menghasilkan penghasilan puluhan juta rupiah (sekitar Rp. 24 juta) dalam sebulan, dibandingkan Mak Tris (pengusaha makanan di sekitar kampus C Universitas Airlangga) yang penghasilan perbulannya mustahil mencapai angka diatas 10 juta rupiah perbulan. Ada juga seorang penyiar TV (pegawai) seperti Choky Sitohang yang penghasilan perbulannya duapuluh kali lipat dari seorang pemilik rumah kontrakan (pengusaha). Namun banyak juga contoh dimana pengusaha mendapatkan penghasilan yang jauh lebih besar daripada seorang pegawai. Seperti… Anne Ahira yang sukses dengan konsep internet marketingnya, atau Ir. Ciputra yang terkenal lewat usaha propertinya.
Kekayaan atau kesuksesan bukan ditentukan oleh pilihan menjadi pengusaha atau pegawai. Tapi soal menjadi KOMPETENSI. Yah, tak dapat dipungkiri bahwa hidup kita ini berada di zaman kompetisi. Namun kompetisi ini bukanlah kompetisi hutan rimba dimana yang kuat adalah yang menang. Kompetisi yang terjadi dalam hidup pada zaman sekarang adalah kompetisi dimana yang kompeten adalah yang menang. Untuk memenangkan kompetisi seperti ini juga tidak serupa dengan kompetisi hutan rimba. Di kompetisi hutan rimba, untuk memenangkan persaingan (kompetisi), kita harus menyingkirkan lawan… entah dengan bertarung menghancurkan lawan, atau berburu mangsa dengan lebih cepat daripada lawan. Sedangkan di kompetisi modern, seseorang yang tidak meningkatkan keahliannya (kompetensinya) akan disingkirkan dari kompetisi. Misalnya, seorang penulis novel sedang terkenal lewat karyanya yang fenomenal. Namun jika penulis novel tersebut tidak membuat karya baru yang sama fenomenalnya, penulis tersebut akan tinggal menjadi bagian dari sejarah saja. Begitu juga dengan pemain sepak bola. Kita bisa menyaksikan bagaimana Ronaldinho, seorang pemain terbaik dunia tahun 2007, menjadi bahan lelucon di Barcelona saat dirinya gagal bersaing dengan pemain-pemain liga Spanyol lainnya, hanya beberapa bulan setelah menjuarai Liga Spanyol. Kita juga bisa menyaksikan bagaimana banyak penyanyi Indonesia yang ngetop lewat acara pencari bakat, lalu dengan cepat meredup ketika ia gagal bersaing dengan band-band baru yang lebih original dan memikat hati penikmat lagu.
Jadi, tak ada alasan untuk menghina pilihan hidup seseorang, apapun pilihannya (asal sesuai dengan ajaran agama dan kemantapan pilihan hatinya). Tuhan memang menginginkan kita untuk kaya, agar dapat menyantuni fakir miskin dan anak terlantar, dan untuk membangun masyarakat yang sejahtera, adil dan makmur. Yang penting adalah meningkatkan kompetensi dan menjadi KOMPETEN.
Komentar
Posting Komentar