HARI Pahlawan
Beberapa HARI lagi, bangsa Indonesia akan memperingati HARI PAHLAWAN yang biasa dperingati pada tanggal 10 November. Kota Surabaya, yang dikenal dengan julukan “Kota PAHLAWAN”-pun mulai berhias. Di sepanjang jalan kota kita akan mendapati foto-foto PAHLAWAN, atribut-atribut merah-putih, spanduk-spanduk dan baliho yang berisi tentang kata-kata bijak kePAHLAWANan.
Para pemuda pun ikut ambil bagian dalam perayaan tahunan ini. Di suatu siang saya menjumpai sekelompok pemuda berkeliling kota menggunakan sepeda kebonya lengkap dengan menggunakan pakaian yang mirip dikenakan para pejuang kemerdekaan. Beberapa pemuda lainnya merayakan HARI PAHLAWAN dengan bersorak-sorai didepan panggung yang menampilkan performance band-band papan atas. Ada juga sekelompok mahasiswa yang dengan semangat dan idealisme tinggi melakukan aksi di jalanan, bersuara lantang di depan bangunan-bangunan bisu di tengah teriknya siang (entah apa yang mereka cari).
Namun diatas itu semua, saya ingin mengajak kawan semua untuk sedikit berpikir lebih dalam. Bayangkan, seandainya pemuda-pemuda Indonesia pada jaman penjajahan dulu mempunyai karakter seperti kita… yang mengidolakan para pemain band atau bintang film daripada mengidolakan pejuang-pejuang kita; yang lebih suka mengisi waktu luang dengan chatting tak kenal waktu daripada mengasah keahlian kita; yang lebih suka nongkrong di kafe daripada mengikuti kajian-kajian ilmiah maupun keagamaan; yang lebih suka menghabiskan uang untuk belanja di mall, nonton bioskop daripada menyantuni fakir miskin atau mendirikan bisnis. Apa jadinya negri ini sekarang jika bangsa kita dahulu mempunyai karakter seperti kita yang telah disebutkan diatas?
Berbicara tentang kePAHLAWANan selalu dikait-kaitkan dengan kerelaan mengorbankan jiwa-raga. Para pejuang-pejuang dahulu melaksanakan nilai-nilai kePAHLAWANan di atas landasan kesucian. Namun semangat ini sudah mulai luntur. Banyak orang orang enggan mengorbankan sedikit hartanya bagi orang miskin. Jangankan membayar zakat, untuk membayar pajak penghasilan saja ogah-ogahan, lebih-lebih disembunyikan. Atau jika ditarik lebih jauh lagi, mengorbankan sebagian hartanya untuk membangun kesejahteraan masyarakat saja sudah emoh. Ini merupakan pengingkaran besar terhadap nilai-nilai kePAHLAWANan, sekaligus nilai-nilai kesucian.
Tentu saja aplikasi kePAHLAWANan berbeda dari generasi ke generasi. Kita tak perlu lagi mengangkat senjata atau melempar granat. Zaman sudah berubah, berkembang dan berevolusi. Merayakan HARI PAHLAWAN tidak cukup dengan seremoni besar-besaran, mebagi-bagikan poster-poster pejuang, memasang spanduk-spanduk bertema kePAHLAWANan, menggelar panggung-panggung band ternama, atau berkeliling kota memakai atribut-atribut pejuang. Tetapi kita perlu merenungkan kembali nilai-nilai kePAHLAWANan apa saja yang bisa kita lakukan untuk memenuhi tuntutan zaman dan lingkungan yang mengitarinya. Untuk saat ini, dalam konteks ke-Indonesia-an, kita harus bisa memberikan sumbangsih kita dalam membantu menyelesaikan masalah-masalah perekonomian bangsa, ikut andil dalam pembenahan pendidikan bangsa, mengawasi kesucian hukum di negara Indonesia, dan lain sebagainya. Sejak krisis ekonomi, banyak rekan-rekan (bahkan keluarga) kita yang kehilangan mata pencaHARIan. Angka kemiskinan bertambah, rumah-rumah kumuh dijumpai di mana-mana, anak-anak kecil mengamen di jalanan, semuanya menggambarkan bahwa bangsa kita sedang bermasalah.
Sudah begitu, di saat perekonomian tumbuh sekitar 3.5-4 persen, inflasi rendah, dan rupiah stabil, tiba-tiba kita dihentakan dengan berbagai gerakan teror bom yang dilakukan oleh bangsa kita sendiri. Sesaat kemudian, rakyat miskin harus menghadapi kenaikan harga bahan bakar minyak, aktivis buruh berdemonstrasi menuntut kenaikan upah minimum regional… semua ini membutuhkan peran serta kita, para pemuda bangsa Indonesia, apapun latarbelakangnya.
Memang, dalam menerapkan nilai-nilai kePAHLAWANan selalu ada godaan-godaan untuk tinggal di zona nyaman… yang merasa karirnya sukses, tenggelam dalam hidup bergelimang kemewahan, yang merasa miskin… pasrah menyerah berharap iba dari pemerintah maupun orang-orang kaya tanpa ada usaha untuk memperbaiki kehidupan. Yang lebih parah… si miskin terjebak untuk mengambil jalan pintas menjadi kaya, seperti menjadi perampok, pembunuh bayaran, pedagang narkotika, dan lain sebagainya. Di sinilah letak keimanan seseorang diuji.
Kalau di bumi nusantara saja masih terjadi kelaparan, kekerasan, dan perilaku destruktif lainnya… maka tugas kita sebagai khalifah (pemimpin) perlu dipertanyakan. Semua itu merupakan tanggungjawab yang tidak bisa diabaikan begitu saja. Sebab, kita bukan hanya makhluk individu, melainkan juga makhluk sosial.
Komentar
Posting Komentar