Dibalik Bayang-Bayang Kematian

 Setiap mengunjungi kota bandung, kami ga pernah lupa sholat di Masjid Raya Bandung. Bangunan religius itu berdiri gagah di tengah keramaian kota. Luasnya melebihi stadion Gelora 10 November di Tambak Sari, Surabaya. Ga Cuma buat sholat, kami menggunakan masjid raksasa tersebut untuk melepas lelah (tidur) atau makan. Makan, lho di masjid kok makan? Iya, soalnya di teras depan masjid tersedia beraneka macam makanan-minuman yang dijajakan pedagang. Mulai dari batagor, siomay, mie ayam, ampe jualan koran, sabuk and yang terakhir, aku pernah menemui orang jualan pulsa handphone berseliweran di sana. Plis deh…

Orang2 dengan logat bahasa jawa yang kental selalu mengimbuhkan huruf M untuk setiap kata yang berawalan B. Misalnya. Kalo mo nyebut kata “batu” jadi “mbatu”. Seperti Ash. Waktu itu kami sedang bernegosiasi dengan salah satu pihak sponsorship di Bandung. Kami janji ketemuan dengan pak BS jam 3 sore di suatu tempat.



Pak BS: “Selamat siang, dari jurusan Matematika Airlangga ka?”

Aku: “Iya Pak. Anu… kami mo konfirmasi soal kerjasama yang sudah di jalin di Surabaya. Kami sudah menghubungi pihak Pusat Wilayah Barat, dan intinya mereka sangat setuju dengan deal kerjasama ini”

Pak BS: “Kalian ini mahasiswa? Kok pada kumuh2 gitu?”

Aku: ”Nghaha… kakakakak!!!” busyet… orang ini jujur banget

Ash: matanya tajam melihat kedua bola mataku seolah mengatakan “Jancuukk isin cuuukk, taek wong iki”.

Pak BS: “Oh, jadi kalian yang tadi ke PusWilBar?”

Ash: dengan logat bahasa Indonesia yang terkesan dipaksakan “Iya Pak. Tadi di Pusat Wilayah Barat nemuin pak Ison, trus katannya disuruh hubungi kantor cabang Mbandung”.

Pak BS: “BANDUNG!!! Bukan Mbandung!!! Kamu secara ga sengaja udah berani ngubah nama ITB kalo gitu”

Aku: “Hhh???” Busyet… maksudnya apa nih orang, jadi bingung dewe

Ash: dengan gaya terkejut yang dipaksakan “Lho… kok bisa?”

Pak BS: “Iya, kamu baru aja ngubah nama ITB jadi ITM”

Aku: “Hhhh???” sebenernya ngomongin apa sih ini, jadi tambah bingung dewe

Ash: merasa PD, tak berdosa, tapi ikut2an bingung “Nggak! ITM tu apa?”

Pak BS: “ITM, Institut Teknologi Mbandung, hehehe…”

Ash: terlihat rona bahagia di wajah kumuhnya “HHUAHAHHHHAAA….”

Aku: ngeliatin wajah konyolnya Ash “Nghahahaha….. kkakakakak!!!!!”

Pak BS: ngliatin dua orang kumuh lagi ketawa mirip kuda “Huehahahehahah…”

Gak di Surabaya, gak di Bandung, semua Polisi Lalulintas sama aja. Suatu hari, kami berdua naek motor matic keliling kota Bandung untuk survey. Waktu itu, Ash yang nyetir. Dalam perjalanan pulang, ada pemeriksaan oleh Polisi. Ash yang menggunakan helm mirip Megaman itu baru sadar kalo dia ga bawa SIM. Begitu deket ama segerombolan polisi, aku ama Ash udah senam jantung, apa lagi, tangan kiri Ash waktu itu digandoli ama petugas. Kamipun melambat, mendadak Ash tancap gas buat kabur. Polisi pun tereak2 “Hoy!!!”. Tempo senam jantungku semakin cepat. Dan hampir aja aku pingsan waktu aku ngelihat di depan jalan udah ada polisi yang siap mengejar dengan sepedamotor (yang keliatannya lebih cepat daripada motorku). Untungnya, dengan keterampilan maling yang dimiliki Ash, kami berdua lolos dari kejaran petugas bersenjata api itu.


Nasib sial justru ku alami keesokan harinya. Waktu itu aku dapet giliran nyetir. Karena asik bcanda diatas motor yang lebih lamban dari motor yang aku pake kemaren, aku ga sengaja nerobos lampu merah, and kali ini, tangan kiriku di gandoli pak Polisi. Dengan meniru adegan kemaren, kami (sementara) berhasil lolos dengan gobloknya (lha wong pake motor yang lemot…). Kami unggul 6 meter dari pos polisi dengan kecepatan maksimal sekitar 40 km/jam.

Ash: deg-degan, trus noleh ke belakang “Ga dikejar cok”.

Aku: dag dig dug “Cook, selamet ae. Ndelik yok, ngopi2 sek ae, santae” (Brengsek, hampir aja. Sembunyi yuk, sambil minum2 kopi, santai2 dulu)

Ash: “Iyo es, sarapan sek ae, nang warung sak nemune. Jancok, wedi aku. Wedi ditembak kok.” (Iya, sarapan dulu aja, di warung sak ketemunya. Brengsek, aku takut. Takut ditembak.)

Aku: “Iyo, lek kene di kiro curanmor, trus ditembak teko mburi…” (Iya, gimana kalo kita dikira curanmor trus ditembak dari belakang…)

Ash: “Aku sing mati cok! Aku nang mburimu lha!” (Aku yang mati, brengsek! Aku kan di belakangmu)

Suara motor mendekat dengan bayang2 kelabu kematian mendekat menghampiriku. Eh ternyata bapak polisi dengan motor gedenya menghampiriku.

Singkat cerita, setelah melalui proses negosiasi yang menegangkan urat2 syarafku dengan bapak berkumis tipis itu, kami sepakat untuk membayar pelarian kami sebesar 50ribu.

Ash: “Taek”

Aku: “Nggaple’i”

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Catatan Kehidupan Mahasiswa

Ibu Sayang

Membela Tuhan